GARUTEXPO – Suasana audiensi Komisi II DPRD Kabupaten Garut memanas setelah sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) melontarkan kritik tajam terhadap Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR). Audiensi yang membahas revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Perda No. 6 Tahun 2019 itu diwarnai kekecewaan mendalam karena ketidakhadiran pihak Dinas PUPR, yang menjadi pemangku kepentingan utama dalam pembahasan tersebut, Jum’at, 17 Januari 2025.
Berbagai LSM, seperti Laskar Indonesia, Galudra Nusantara Intan Dewata (GNID), Spektrum, GAPERMAS, dan GPLP, hadir menyuarakan keresahan masyarakat. Rudy Supriadi, Ketua GNID, mengecam keras ketidakhadiran Dinas PUPR dan menyarankan langkah tegas.
“Kalau perlu, Kepala Dinas PUPR dipanggil paksa oleh polisi. DPRD adalah lembaga terhormat, dan mereka wajib hadir saat diundang,” ujar Rudy dengan nada penuh kegeraman. Ia juga mempertanyakan mengapa Dinas PUPR terlihat kebal dari kewajiban menghadiri forum penting tersebut.
Sememtara itu, Haryono, pemerhati lingkungan, turut menyoroti sikap DPRD yang dinilainya tidak lagi tegas. “Dulu DPRD dikenal bertaring, sekarang terlihat kehilangan keberanian. Tiga kali undangan diabaikan, ada apa sebenarnya?” tanyanya retoris.
Selain itu, GAPERMAS dan GPLP mengungkapkan kejanggalan dalam pengelolaan proyek SPAM (Sarana dan Prasarana Penyediaan Air Minum) yang didanai Dana Alokasi Khusus (DAK) sebesar Rp13 miliar. Mereka menyoroti kualitas pekerjaan yang tidak sesuai standar dan pelaksanaan pengadaan barang serta jasa yang dianggap mencurigakan.
“Kami sangat kecewa. Dinas PUPR sebagai pelaksana pengadaan barang dan jasa malah tidak hadir. Ini menimbulkan banyak kecurigaan,” ujar Deni Saat di wawancarai garutexpo.com seusai audiensi tersebut.
Audiensi yang diharapkan menjadi ruang dialog konstruktif berubah menjadi arena kritik tajam terhadap Dinas PUPR dan DPRD. Para LSM mendesak DPRD mengambil langkah tegas untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan proyek pemerintah.
Ketegangan ini mencerminkan keresahan masyarakat terhadap kinerja pemerintah daerah yang dianggap tidak responsif terhadap isu-isu strategis, khususnya terkait tata ruang dan infrastruktur publik.(*)