GARUTEXPO – Kawasan Kandangwesi yang kini dikenal sebagai bagian dari wilayah selatan Garut, diyakini pernah menjadi pusat penting dalam sejarah Kesundaan. Dalam tulisan yang disusun oleh Kang Oos Supyadin, seorang pemerhati kesejarahan dan budaya sekaligus pengurus Dewan Adat Kabupaten Garut (DAKG), disebutkan bahwa Kandangwesi memiliki status khusus sebagai Buni Nagara Selop Pandan—yakni sebuah wilayah tersembunyi tanpa kekuasaan, namun sarat nilai spiritual dan strategis.
Dalam naskah babad yang dikaji, pada masa keruntuhan Pakuan Pajajaran, tujuh ratu atau Ratu Rujuh dari berbagai wilayah Kesundaan seperti Cirebon Hilir, Cirebon Girang, Cirebon Tengah, Mataram, Solo, Mekah, dan Kandangwesi mengadakan pertemuan di Batu Tujuh—sebuah kawasan belantara yang menjorok ke laut selatan.
“Pertemuan tersebut dipimpin Prabu Borosngora, yang di Kandangwesi dikenal dengan nama Iwung Bitung dan Haur Cengkup, dengan tujuan menyelamatkan jatidiri Kesundaan, serta menyusun langkah-langkah strategis menyambut perubahan zaman,” tulis Kang Oos, Selasa 15 April 2025.
Dalam isi babad Kandangwesi maupun siloka pertemuan itu, terdapat empat keputusan utama, yaitu:
- Mengembalikan status Kandangwesi sebagai Buni Nagara Selop Pandan.
- Menyamarkan identitas para tokoh dengan mengganti nama dan gelar mereka.
- Menetapkan Ranca Kalima sebagai teuteukon atau hukum adat Kandangwesi.
- Menentukan sepuluh syarat Kesatria Pawestri yang dipercaya sebagai generasi hawari, calon Ratu Kedelapan, pemimpin seluruh tanah Jawa (rat nusa Jawa kabeh).
Menurut Kang Oos, Kandangwesi pada pertengahan abad ke-7 telah memiliki ahli dalam ilmu najum (perbintangan) dan kanuragan, serta para empu pembuat perkakas yang terkenal hingga ke berbagai kerajaan.
“Para empu dari Kandangwesi pernah menjadi sumber senjata dan alat-alat penting kerajaan, bahkan menyebar dan menetap di berbagai wilayah sebagai panday (pembuat besi),” jelasnya.
Selain itu, dari Kandangwesi pula lahir para santana atau juru obor, yang bertugas sebagai pengantar persenjataan dan peralatan rumah tangga serta pertanian ke berbagai daerah.
Tulisan ini diharapkan dapat menggugah kembali kesadaran akan nilai sejarah dan budaya lokal Garut, serta memperkuat jati diri masyarakat terhadap akar budayanya.(*)